Sebelum mengemukakan mengenai pelanggaran dari hak cipta, hak paten dan
hak merek, terlebih dahulu kita harus mengetahui makna dari masing-masing hak
tersebut. Berikut ini adalah penjelasannya.
Hak Cipta
Hak cipta adalah hak ekslusif
bagi pencipta atau penerima hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan undang-undang hak cipta yang berlaku.
Hasil Ciptaan yang dilindungi Undang-undang hak cipta ( uu hak cipta No.
19/2002) adalah karya cipta dalam tiga bidang, yaitu hak cipta ilmu
pengetahuan, hak cipta seni dan hak cipta sastra.
Hak Paten
Hak Paten
(Patent) adalah hak
eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di
bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri
Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya.
Hak Merek
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama,
kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa. (Menurut UU No.15 Tahun 2001).
Hak Merek adalah hak ekslusif yang
diberikan oleh negara kepada pemilik merek terdaftar dalam daftar umum merek
untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau
memberikan ijin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Fungsi merek dapat
dilihat dari sudut produsen, pedagang dan konsumen. Dari segi produsen merek
digunakan untuk jaminan nilai hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas,
kemudian pemakaiannya, dari pihak pedagang, merek digunakan untuk promosi
barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasaran, dari pihak
konsumen, merek digunakan untuk mengadakan pilihan barang yang akan dibeli.
Setelah mengetahui makna dari arti hak
cipta, hak paten, dan hak merek barulah sekarang membahas mengenai pelanggaran
mengenai hak-hak tersebut. Berikut ini adalah pembahasannya.
Pelanggaran Etik Dari Hak Paten
Pelanggaran hak paten oleh perusahaan mobil ternama kia
dan hyundai. perusahaan ini dituduh melanggar hak paten atas teknologi hybrid
yang sebelumnya telah ditemukan dan di patenkan oleh paice. kasus yang serupa
juga menimpa perusahaan mobil toyota atas hal yang sama dan kasus tersebut
berujung denda yang dibebankan kepada perusahaan toyota sebesar $98 untuk
setiap unit yang terjual. berkaca dari studi kasus tersebut maka sangatlah
penting mematenkan hasil temuan kita agar sewaktu-waktu bila terjadi kecurangan
maka dapat ditindak lanjuti dengan jelas, aman dan cepat.
Tanggapan :
Perusahaan-perusahaan tersebut seharusnya memantenkan
teknologi hybrid yang telah mereka temukan sehingga tidak digunakan oleh
perusahaan lain. masalah ini terjadi karena kesalahan juga dari perusahaan yang
telah menemukan. jika mematenkan apa yang telah mereka temukan, masalah seperti
ini tidak akan tejadi. kedua perusahaan tersebut juga tidak akan dirugikan.
syarat-syarat hak paten memang sedikit rumit tetapi jika diikuti akan
memberikan keuntungan bagi kita sendiri. apapun yang telah kita temukan dan
penting bagi kehidupan dunia maka sebaiknya dilakukan agar tidak saling
merugikan satu sama lain.
Pelanggaran Etik Dari
Hak Cipta
Plagiarisme
seringkali dikonotasikan hanya sebagai pelanggaran etika, bukan sebagai
perbuatan melawan hukum. Bagi komunitas hukum, perbuatan melawan hukum dapat
dikategorikan ke dalam beberapa macam. Dalam konteks ini, perbuatan melawan
hukum pidana (wederrechtelijkheid) adalah yang
paling relevan untuk dikaitkan. Untuk itu, Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014 tentang Hak Cipta sudah mengaturnya secara jelas.
Menurut
undang-undang ini, hak cipta (copy right) adalah
hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip
deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi
pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak
eksklusif merupakan hak yang hanya diperuntukkan bagi si pencipta atau penerima
hak cipta itu. Apabila ada orang lain yang ingin memanfaatkan ciptaan tadi,
orang ini harus mendapat izin terlebih dulu dari pencipta atau penerima hak
cipta tadi.
Hak
cipta adalah salah satu hak kekayaan intelektual (intellectual property rights)
yang mendapat perlindungan secara otomatis oleh negara. Jadi, tanpa harus
melalui prosedur pendaftaran atau permintaan, hak ini akan langsung diberikan
oleh negara. Kebijakan demikian semata-mata demi kepentingan praktis, yaitu
agar memudahkan setiap pencipta mendapatkan perlindungan, mengingat sedemikian
banyak ciptaan dihasilkan setiap hari, baik di bidang ilmu pengetahuan, seni,
maupun sastra. Pendaftaran sebenarnya lebih diperlukan untuk menjamin
perlindungan dan mempermudah proses pembuktian, khususnya tatkala terjadi
sengketa hak cipta di kemudian hari.
Sepanjang pengetahuan penulis, belum
ada kasus plagiarisme yang dibawa sampai ke tingkat pengadilan. Padahal,
apabila dicermati ketentuan sanksi pidana dalam Undang-Undang Hak Cipta,
perbuatan plagiarisme termasuk ke dalam kriteria tindak pidana yang diancamkan.
Undang-Undang Hak Cipta menyebutkan delapan pasal perbuatan-perbuatan yang
dapat dijerat dengan ancaman pidana. Semua perbuatan tadi dikategorikan sebagai
delik aduan. Dari pasal-pasal tersebut, tidak ada satupun yang menyebutkan
istiah plagiarisme dan otoplagiarisme.
Justru
Pasal 44 Undang-Undang Hak Cipta membuat rumusan secara negatif dengan
kata-kata sebagai berikut: “Penggunaan, pengambilan,
penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait
secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai
pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap
untuk keperluan: (a) pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta; (b)
dst…” Rumusan Pasal 44 huruf a ini perlu dicermati. Dari bunyi
ketentuan tersebut jelas, bahwa syarat mencantumkan sumber adalah sebuah syarat
mutlak untuk dapat terbebas dari tindak pelanggaran. Artinya, jika tidak
dicantumkan sumbernya, pasal ini otomatis mengkategorikan tindakan itu sebagai
pelanggaran hak cipta, sekalipun dalam sanksi pidana tidak disebut-sebut secara
eksplisit tentang ancaman sanksi jika terjadi pelanggaran atas Pasal
44 Undang-Undang Hak Cipta.
Seandainya pun dicantumkan sumbernya,
masih tetap terbuka kemungkinan pengambilan itu terancam sebagai pelanggaran
hak cipta, yakni apabila pengambilan tersebut ternyata sampai merugikan
kepentingan yang wajar dari pencipta. Pembatasan ini berdimensi kualitatif.
Pembentuk undang-undang rupanya menyadari bahwa pembatasan yang kuantitatif
memang sulit ditetapkan. Penjelasan Pasal 44 ayat (1) menyatakan, “Yang
dimaksud dengan ‘sebagian yang substansial’ adalah bagian yang paling
penting dan khas yang menjadi ciri dari ciptaan.” Selanjutnya dijelaskan, “Yang
dimaksud ‘kepentingan yang wajar dari pencipta dan pemegang hak cipta’ adalah
kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi
atas suatu ciptaan.”
Pembatasan kualitatif dengan kata-kata
“sebagian yang substansial” ini penting untuk diperhatikan. Artinya, tidak
ada lagi alasan untuk melakukan pengambilan hak cipta orang lain dengan dalih
“hanya satu atau dua kalimat atau paragraf”. Sepanjang kalimat atau paragraf
itu substansial dan dilakukan tanpa pencantuman sumbernya, maka pelanggaran hak
cipta sudah layak disematkan untuk perbuatan tersebut.
Sistem
hukum positif Indonesia tidak hanya menyediakan satu alternatif tunggal dalam
penyelesaian sengketa hak cipta. Selain mekanisme pidana, gugatan secara
perdata juga dimungkinkan dengan dalih telah terjadi perbuatan melawan hukum
perdata (onrechtmatige daad). Pihak penggugat mengajukan
gugatannya kepada pengadilan negeri setempat. Ketika kasus ini disidangkan di
pengadilan, hakim pun tetap terikat untuk menawarkan perdamaian kepada para
pihak.
Terlepas dari mekanisme penyelesaian
sengketa secara formal seperti diatur dalam undang-undang, mekanisme informal
atau institusional biasanya justru lebih banyak digunakan. Jika yang melakukan
pelanggaran ini adalah seorang dosen, maka sanksi yang diberikan biasanya juga
dikaitkan dengan status kedosenannya. Institusi tempat dosen itu bernaung juga
dapat membentuk majelis kode etik guna memproses pelanggaran demikian.
Undang-Undang
Hak Cipta sama sekali tidak menyinggung perihal otoplagiarisme. Dapat dimaknai
melalu argumentum a-contrario, bahwa karena tidak diatur maka
perilaku otoplagiarisme bukan dipandang sebagai pelanggaran hak cipta.
Otoplagiarisme memang lebih tepat dikonstruksikan sebagai pelanggaran etika.
Meskipun demikian, ia masih dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum perjanjian
apabila misalnya seorang penulis mengajukan karya tulisannya kepada sebuah
penerbit, padahal dalam perjanjian antara penulis dan penerbit itu sudah
dipersyaratkan bahwa tulisan yang diajukan harus orisinal, dalam arti belum
pernah dipublikasikan di media manapun. Senyampang tulisan yang tidak orisinal
itu jadi diterbitkan tanpa ada pemberitahuan atau keterangan apapun dari
penulisnya, maka tindakan otoplagiarisme sudah terjadi. Jika penerbit tersebut
sampai menderita kerugian akibat ketidakjujuran penulis itu, maka perilaku
otoplagiarisme tadi dapat menjadi dalih gugatan atas dasar cedera janji
(wanprestasi).
Sumber :
Anderson, Judy
(1998). Plagiarism, Copyright Violation and Other Thefts of Intellectual
Property: An Annotated Bibiligraphy with A Lengthy Introduction.
Jefferson, North Carolina: McFarland & Co.
Oakes, Elisabeth H.
& Mehrdad Kia (2004). Social Science Resources in the
Electronic Age. Westport: Greenwood Press.
Overbeck, Bonnie K. (2000). “Plagiarsime Statistics”
<http://iml.jou.ufl.edu/ projects/Spring2000/Overbeck/stats.html>.
Diunduh 1 Mei 2011.
UCB Libraries (2011). “Glossary of Library Terms.”
<http://ucblibraries.colorado. edu/about/glossary.htm>. Diunduh 1 Mei
2011.
Rappaport, Edward
(2002). “Copyright Term Extension: Estimating the Economic Values.” Dalam: John
V. Martin, Copyright: Current Issues and Laws.
New York: Nova Science Publishers. Hlm. 1-18.
Worthington, Sarah (2009). “Art, Law, and Creativity”
Journal of Current Legal Problems, Volume 62, Issue 1. Hlm. 169-201.
No comments:
Post a Comment