Limbah adalah buangan
yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah
tangga, yang lebih dikenal sebagai sampah), yang kehadirannya pada suatu saat
dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai
ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia
organik dan anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran
limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan
manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya
keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik
limbah.
·
Limbah Cair
Limbah cair adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau
kegiatan yang berwujud cair yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat
menurunkan kualitas lingkungan. Sedangkan menurut Sugiharto (1987) air limbah
(waste water) adalah kotoran dari masyarakat, rumah tangga dan juga yang
berasal dari industri, air tanah, air permukaan, serta buangan lainnya.
Limbah cair merupakan
masalah utama dalam pengendalian dampak lingkungan industri tekstil karena
memberikan dampak yang paling luas, disebabkan oleh karakteristik fisik maupun
karakteristik kimianya. Limbah cair terutama dihasilkan dari proses
penyempumaan tekstil. Limbah cair akan mengandung bahan-bahan yang dilepas dari
serat, sisa bahan kimia yang ditambahkan pada proses penyempurnaan tersebut, serta
serat yang terlepas dengan cara kimia atau mekanik selama proses produksi
berlangsung.
· Limbah Cair Tekstil
Limbah tekstil
merupakan limbah yang dihasilkan dalam proses pengkanjian, proses penghilangan
kanji, pengelantangan, pemasakan, merserisasi, pewarnaan, pencetakan dan proses
penyempurnaan. Proses penyempurnaan kapas menghasilkan limbah yang lebih banyak
dan lebih kuat dari pada limbah dari proses penyempurnaan bahan sistesis.
Gabungan air limbah pabrik tekstil di Indonesia rata-rata mengandung 750 mg/l
padatan tersuspensi dan 500 mg/l BOD. Perbandingan COD : BOD adalah dalam
kisaran 1,5 : 1 sampai 3 : 1. Pabrik serat alam menghasilkan beban yang lebih
besar. Beban tiap ton produk lebih besar untuk operasi kecil dibandingkan
dengan operasi modern yang besar, berkisar dari 25 kg BOD/ton produk sampai 100
kg BOD/ton. Informasi tentang banyaknya limbah produksi kecil batik tradisional
belum ditemukan.
Larutan penghilang kanji biasanya langsung
dibuang dan ini mengandung zat kimia pengkanji dan penghilang kanji pati, PVA,
CMC, enzim, asam. Penghilangan kanji biasanya memberikan BOD paling banyak
dibanding dengan proses-proses lain. Pemasakan dan merserisasi kapas serta
pemucatan semua kain adalah sumber limbah cair yang penting, yang menghasilkan
asam, basa, COD, BOD, padatan tersuspensi dan zat-zat kimia. Proses-proses ini
menghasilkan limbah cair dengan volume besar, pH yang sangat bervariasi dan
beban pencemaran yang tergantung pada proses dan zat kimia yang digunakan.
Pewarnaan dan pembilasan menghasilkan air limbah yang berwarna dengan COD
tinggi dan bahan-bahan lain dari zat warna yang dipakai, seperti fenol dan
logam. Limbah cair dari industri tekstil selain sesuai uraian diatas, secara
garis besar dapat diuraikan menjadi bagian – bagian seperti dibawah ini:
1.
Logam berat terutama As, Cd, Cr, Pb, Cu, Zn.
2.
Hidrokarbon terhalogenasi.
3.
Pigmen, zat warna dan pelarut organik.
4.
Tensioactive (surfactant).
Zat warna tekstil merupakan suatu senyawa
organik yang akan memberikan nilai COD (Chemical Oxygen Demand) dan BOD
(Biological Oxygen Demand). Penghilangan zat warna dari air limbah
tekstil akan menurunkan COD dan BOD air limbah tersebut. Sebagai contoh dari
hasil percobaan di laboratorium BBT (Balai Besar Tekstil) menunjukkan bahwa air
dari limbah tekstil yang mengandung beberapa zat warna reaktif sebanyak 225
mg/l mempunyai COD sebesar 534 mg/l dan BOD 99 mg/l.
· Zat Warna Tekstil
Pada tahun 1876 Witt
menyatakan bahwa molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik yang
tidak jenuh, kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom sebagai pengikat
antara warna dengan serat. Zat organik tak jenuh umumnya berasal dari senyawa
aromatik dan derivatifnya (benzene, toluene, xilena, naftalena, antrasena, dan
sebagainya.), Fenol dan derivatifnya (fenol, orto/ meta/ para kresol, dan
sebagainya.), senyawa mengandung nitrogen (piridina, kinolina, korbazolum, dan
sebagainya). (Pratikto, 2003).
Kromofor merupakan zat pemberi warna yang
berasal dari radikal kimia, seperti kelompok nitroso (-NO), nitro (-NO2),
azo (-N=N), etilena (>C=C<), karbonil (>C=O), karbon nitrogen
(>C=NH dan –CH=N-), belerang (>C=S dan ->C-S-S-C<). (Sastrawijaya,
1991).
Auksokrom merupakan gugus yang dapat
meningkatkan daya kerja khromofor sehingga optimal dalam pengikatan. Auksokrom
terdiri dari golongan kation yaitu –NH2, -NH Me, – N Me2 seperti
–+NMe2Cl–, golongan anion yaitu SO3H-,
-OH, -COOH. Auksokrom juga merupakan radikal yang memudahkan terjadinya
pelarutan: -COOH atau –SO3H, dapat juga berupa kelompok pembentuk
garam: – NH2 atau –OH. (Sastrawijaya, 1991).
Zat warna dapat digolongkan menurut sumber
diperolehnya yaitu zat warna alam dan zat warna sintetik. Van Croft
menggolongkan zat warna berdasarkan pemakaiannya, misalnya zat warna yang
langsung dapat mewarnai serat disebutnya sebagai zat warna substantif dan zat
warna yang memerlukan zat-zat pembantu supaya dapat mewarnai serat disebut zat
reaktif. Kemudian Henneck membagi zat warna menjadi dua bagian menurut warna
yang ditimbulkannya, yakni zat warna monogenetik apabila memberikan hanya satu
warna dan zat warna poligenatik apabila dapat memberikan beberapa warna.
Penggolongan zat warna yang lebih umum dikenal adalah berdasarkan konstitusi
(struktur molekul) dan berdasarkan aplikasi (cara pewarnaannya) pada bahan,
misalnya didalam pencelupan dan pencapan bahan tekstil, kulit, kertas dan
bahan-bahan lain. (Renita, dkk., 2004)
Penggolongan zat warna menurut “Colours Index”
volume 3, yang terutama menggolongkan atas dasar sistem kromofor yang berbeda
misalnya zat warna Azo, Antrakuinon, Ftalosia, Nitroso, Indigo, Benzodifuran,
Okazin, Polimetil, Di- dan Tri-Aril karbonium, Polisiklik, Aromatik Karbonil,
Quionftalen, Sulfer, Nitro, Nitrosol dan lain-lain. (Heaton, 1994)
Griffiths dan Daehne membagi pewarna
berdasarkan tipe elektron – terangsang (exited) yang terjadi
pada saat penyerapan cahaya. Luettke membaginya menjadi pewarna penyerap (absorption
colorant), pewarna berfluorosensi (fluorescence colorant), dan
pewarna pemindah daya (energy transfer colorant). (Pratikto,
2003)
Zat warna termasuk spektrum yang luas dengan
struktur kimia yang berbeda terutama didasarkan pada gugus utama yaitu golongan
aromatik dan heterosiklik seperti gugus amina aromatik (C6H5-NH2)
yang dicurigai dapat menimbulkan penyakit kanker, phenil (C6H5-CH2)
dan naptil (NO2-OH). Hal yang paling umum adalah kemampuan zat
kimia tersebut dalam penyerapan sinar cahaya tampak.
· Studi Kasus Pewarna Tekstil
DAMPAK PENCEMARAN PEWARNA TEKSTIL JENIS AZO
TERHADAP BIOTA AIR DAN MEKANISME KEJADIANNYA SERTA DAMPAK PADA PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
Limbah
menjadi suatu permasalahan lingkungan yang semakin hari bertambah, baik dari
segi volume maupun jenisnya seiring perkembangan teknologi dan zaman. Salah
satu yang menjadi permasalahan lingkungan adalah adanya pencemaran oleh bahan
pewarna dari sektor industri tekstil yang membuang limbah dalam volume besar ke
dalam ekosistem perairan setelah dilakukannya proses pewarnaan. Pewarna yang
lazim digunakan dalam industri tekstil, kulit, kosmetik, pewarna makanan, dan
kertas adalah pewarna jenis azo (Zolinger et.al 1987 dalam m. sudha et.al.
2014).
Pewarna azo merupakan pewarna utama yang
digunakan dalam industri tekstil dan tergolong limbah yang sulit terdegradasi,
meski pewarna azo dapat bersifat nontoksik pada kadar rendah bagi tubuh
manusia, namun pada kadar atau jenis azo tertentu dapat bersifat toksik dan
karsinogenik (Dewi, S,R & Lestari, S.2010). Setidaknya, terdapat kurang
lebih 3000 jenis pewarna azo yang digunakan dalam kegiatan industri, baik pada
tekstil, kulit, kosmetik, makanan dan kertas. Dalam Chequer et.al (2011) pewarna azo adalah pewarna
sintesis dari pasangan amine yang terdeazotisasi menjadi senyawa organik (amine
atau fenol) yang memiliki satu atau lebih gugus azo -N=N- yang berikatan dengan
gugus cincin aromatik, dan dapat terlarut dalam air.
Zat warna golongan azo merupakan golongan zat
warna yang memiliki kromofor –N=N, yang merupakan senyawa kimia yang memberikan
warna, bukan sebagai zat warna sehingga bahan yang terkena pewarna ini akan
bersifat sementara. Oleh karena itu, pada industri tekstil, dalam pewarna azo
juga terdapat aukrosom atau radikal yang mengikat kromofor sehingga warna akan
terikat pada bahan. Ikatan antara kromofor dan aukrosom yang kuat menyebabkan
zat warna azo tidak dapat hilang dari perairan (Dewi, S.R, & Lestari S.
2010.). pewarna azo digunakan hingga 80% dalam proses pewarnaan tekstil, dan
diperkirakan oleh Baban (2013) dalam m. sudha. et.al (2014), bahwa 10-15% limbah pewarna
azo masuk ke dalam sungai ketika proses pewarnaan berlangsung.
Limbah pewarna azo yang dibuang ke dalam
sungai atau ekosistem perairan mampu mempengaruhi transparansi air, yang
artinya mempengaruhi penetrasi sinar dari matahari terhadap sungai, serta
bersifat toksik, dan mutagenik terhadap organisme atau biota air. Tulisan ini
lebih lanjut akan membahas mengenai dampak pewarna azo terhadap biota air serta
hubungannya terhadap pembangunan berkelanjutan.
Pewarna Azo Terhadap Biota Air
Pewarna azo yang memiliki sifat mudah terlarut
dalam air, ketika dibuang ke dalam ekosistem perairan akan tercampur dalam
perairan, terakumulasi dan mampu memasuki tubuh biota air sehingga terjadi
bioakumulasi. Secara fisik, pewarna azo yang masuk ke dalam sungai membuat air
sungai menjadi berwarna dan menghalangi cahaya yang masuk ke dalam badan air,
sehingga berpegaruh terhadap proses fotosintesis fitoplankton atau tumbuhan air
yang kemudian akan mempengaruhi pula zooplankton dan organisme air lainnya.
Secara kimia, mampu mengurangi kadar oksigen yang ada dalam perairan yang
tercemar dan dapat mengakibatkan kematian terahadap biota air. Selain itu, pada
dasar perairan, zat warna azo yang dirombak oleh mikroorganisme secara
anaerobik dapat menghasilkan senyawa amina aromatik yang tingkat toksisitasnya
kemungkinan menjadi lebih berbahaya dibandingkan dengan zat warna azo itu
sendiri (Fitriana, A & Kuswytasari. 2013). Salah satu contoh senyawa yang
terbentuk dalam proses anaerobik yaitu kloroanilin, yang dapat mengganggu
kesehatan manusia karena diduga dapat berpengaruh terhadap organ pernapasan,
urogenital, dan gangguan saraf (Suhendra, E.dkk. 2013)
Nirmalarani et.al (1988) dalam M.Sudha. et.al (2014) menyebutkan bahwa pewarna azo
mampu mengurangi efisiensi germinasi benih dan pertumbuhan tumbuhan. Dalam
konsentrasi yang lebih tinggi mampu menghambat pertumbuhan tunas dan akar.
Dampak yang terjadi pada hewan, dalam Kucerova et.al.,
(1987); Collier at.al. (1993) dalam Chequer, D.M.F.
et al (2014) menyebutkan bahwa pewarna azo mampu mempengaruhi kegagalan
reproduksi dan dapat menyebabkan aberasi kromosom. Dalam penelitian lain yang
dilakukan oleh Al-Sabti (2000) dalam Chequer, D.M.F. et al (2014) yang hasilnya
menunjukkan bahwa pewarna azo memiliki aktivitas klastogenik, sebuah potensi
faktor resiko permasalahan penyakit dalam perkembangan gen, teratogenik atau
karsinogenik terhadap populasi ikan.
Bae dan Freeman (2007) dalam Chequer, D.M.F.
et al (2014) telah mendemonstrasikan toksisitas biologis pewarna azo terhadap Daphnia sp.
Dengan menggunakan pewarna azo jenis Direct Blue 218,
48-h LC50 diantara
1 hingga 10 mg/l, terbukti sangat toksik terhadap Daphnia sp. Pewarna azo kebanyakan tidak mudah
terdegradasi atau bahkan tidak terdegradasi dengan menggunakan treatmen
konvensional. Ada pun efek mutagenik, karsinogenik dan toksik pewarna azo bisa
terjadi karena efek langsung dari senyawa penyusun azo, atau karena proses
biotransformasi reduktif ikatan azo yang membentuk adanya radikal bebas dan
derivat aryl amine. Efek mutagenik pewarna azo dapat menyebabkan aberasi
terhadap kromosom, aberasi kromosom merupakan indikator penting terhadap
kerusakan DNA dan ketidakstabilan genom, dan secara umum aberasi kromosom
adalah gabungan perubahan yang terjadi pada kriotipe normal secara keseluruhan
(Alatas, Z. 2008)
Bagaimana Reaksi Pewarna Azo Dalam Tubuh Organisme
Pewarna Azo bekerja atau bereaksi layaknya
Xenobiotik dan bersifat toksik, dan dapat terakumulasi melalui rantai makanan.
Ketika, pewarna azo masuk ke dalam tubuh organisme melalui absorpsi, ia dapat
bereaksi terhadap metabolisme tubuh suatu organisme atau bahkan zat tersebut
bisa bereaksi sendiri tanpa ikut berekasi dalam metabolisme, karena adanya
interaksi dengan fungsi umum sel. Interaksi zat kimia terhadap fungsi umum sel
diantaranya dapat menyebabkan suatu efek narkose, dan gangguan terhadap penghataran
impuls neurohumoral (Anonim. 2014).
Masuknya suatu zat ke dalam tubuh suatu
organisme dapat menyebabkan sebuah proses biotransformasi, atau perubahan zat
kimia dalam sistem biologis pada fungsi fisiologi tubuh organisme. Proses
biotransformasi organisme ketika pewarna azo masuk ke dalam tubuhnya bisa jadi
mengurangi tingkat berbahaya zat kimia tersebut, atau bahkan mungkin juga
membuat xenobiotik bioaktif, dan menjadikannya lebih berbahaya dalam tubuh
suatu organisme. Proses utama biotransformasi yang terjadi ketika pewarna azo
masuk, diantaranya oksidasi, reduksi, hidrolisis dan konjugasi, yang
terkatalisasi oleh enzim, dan dipengaruhi oleh bangun molekul serta kepekatan
pencemar, sifat alamiah mikroorganisme, keadaan lingkungan, dan suhu (Connell,
2006, dalam Suhendra, E. dkk. 2013).
Penggunaan Perwarna Azo Terhadap Pembangunan Berkelanjutan
Tidak dipungkiri bahwa pewarna jenis Azo lazim
dan banyak digunakan di beberapa produk yang sering kita gunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Penggunaan pewarna azo menjadi salah satu bagian dari
faktor ekonomi untuk meningkatkan kualitas suatu produk dalam hal penampilan
produk. Oleh karenanya pewarna azo umumnya tidak lepas dari kegatan produksi
terutama di bidang tekstil dan produk yang menggunakan pewarna. Selama
pengolahan, penggunaan, dan pemanfaatan pewarna azo dilakukan secara bijak dan
tidak menyebabkan suatu dampak yang buruk, maka tidak menjadi sebuah masalah
bagi masyarakat.
Adalah suatu tujuan dalam pembangunan nasional
untuk mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi. Tetapi apalah artinya
kesejahteraan tanpa lingkungan yang sehat demi mendukung kesehatan dan
kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, pembangunan yang berwawasan
lingkungan menjadi penting bagi fondasi pembangunan.
Pewarna azo sebagaimana telah dikemukakan di
atas, jelas menimbulkan suatu permasalahan bagi lingkungan terutama air, ketika
tidak dikelola secara bijak. Air merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi
kehidupan seluruh makhluk hidup, dan oleh karena itu kualitas air perlu dijaga.
Dalam M.Sudha. et.al (2014) dikemukakan berbagai mekanisme
dan metode untuk menghilangkannya seperti dengan cara pekoagulasi,
koagulasi-elektrooksidasi, adsorpsi, elektrolisis, fotolisis, dan ozonisasi.
Secara biologi, pewarna azo dapat didegradasi dengan menggunakan agen hayati
seperti mikroorganisme (M.Sudha. et.al. 2014), jamur (Dewi, S.R,
& Lestari S. 2010), kapang (Fitriana, A & Kuswytasari. 2013). Namun
cara-cara tersebut secara ekonomi dapat membebani suatu proses produksi dan
oleh karena biayanya dapat dikatakan tidak sedikit serta waktu yang tidak
sebentar. Hal ini bergantung kepada pelaku industri untuk dapat mengorbankan
biaya demi terjaganya lingkungan dari limbah yang ia hasilkan.
Pengelolaan limbah terhadap kualitas air di
Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 dan mengacu pada
Undang-undang no 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun
dalam implementasinya, regulasi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Diperlukan suatu tindakan tegas terhadap penerapan PP No.82 tahun 2001, karena air bersih
merupakan hak bagi setiap warga negara Indonesia, dan merupakan unsur paling
penting dalam kehidupan makhluk hidup. Sehingga, dalam hal ini, tidak bisa
tawar-menawar untuk pengelolaan kualitas air agar air tetap terjaga dengan
baik.
Penggunaan zat kimia perlu disikapi secara
bijak, karena tidak hanya dapat mencemari lingkungan, namun juga dapat menjadi
bencana ekologis bagi manusia. Pewarna digunakan untuk kebutuhan produksi dan
tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari, namun di sisi lain ia juga
menimbulkan suatu permasalahan yang harus ditanggulangi. Tersedianya suatu
regulasi tidak efektif jika tanpa implementasi dalam realita kehidupan, maka
sebelum terjadinya suatu masalah perlu adanya pencegahan terhadap apa yang
tidak kita harapkan tersebut. Dalam hal ini, pencerdasan terhadap pelaku
produksi atau pengguna zat pewarna juga harus diperhatikan. Kemudian
pendampingan dan pengawasan juga dianggap penting dalam pelaksanaan suatu
proses produksi, sehingga apa yang diharapkan dari sebuah regulasi demi
kepentingan bersama yakni sebuah pembangunan berkelanjutan dapat terwujud.
·
Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Tekstil
Pengolahan
limbah cair dilakukan apabila limbah pabrik mengandung zat warna, maka aliran
limbah dari proses pencelupan harus dipisahkan dan diolah tersendiri. Limbah
operasi pencelupan dapat diolah dengan efektif untuk menghilangkan logam dan
warna, jika menggunakan flokulasi kimia, koagulasi dan penjernihan (dengan
tawas, garam feri atau poli-elektrolit). Limbah dari pengolahan kimia dapat dicampur
dengan semua aliran limbah yang lain untuk dilanjutkan ke pengolahan biologi.
Jika
pabrik menggunakan pewarnaan secara terbatas dan menggunakan pewarna tanpa krom
atau logam lain, maka gabungan limbah sering diolah dengan pengolahan biologi
saja, sesudah penetralan dan ekualisasi. Cara-cara biologi yang telah terbukti
efektif ialah laguna aerob, parit oksidasi dan lumpur aktif. Sistem dengan laju
alir rendah dan penggunaan energi yang rendah lebih disukai karena biaya
operasi dan pemeliharaan lebih rendah. Kolom percik adalah cara yang murah akan
tetapi efisiensi untuk menghilangkan BOD dan COD sangat rendah, diperlukan lagi
pengolahan kimia atau pengolahan fisik untuk memperbaiki daya kerjanya.
Untuk
memperoleh BOD, COD, padatan tersuspensi, warna dan parameter lain dengan kadar
yang sangat rendah, telah digunakan pengolahan yang lebih unggul yaitu dengan
menggunakan karbon aktif, saringan pasir, penukar ion dan penjernihan kimia.
PEMANFAATAN LIMBAH
Industri
tekstil tidak banyak menghasilkan banyak limbah padat. Lumpur yang dihasilkan
pengolahan limbah secara kimia adalah sumber utama limbah pada pabrik tekstil.
Limbah lain yang mungkin perlu ditangani adalah sisa kain, sisa minyak dan
lateks. Alternatif pemanfaatan sisa kain adalah dapat digunakan sebagai bahan
tas kain yang terdiri dari potongan kain-kain yang tidak terpakai, dapat juga
digunakan sebagai isi bantal dan boneka sebagai pengganti dakron.
Lumpur
dari pengolahan fisik atau kimia harus dihilangkan airnya dengan saringan plat
atau saringan sabuk (belt filter). Jika pewarna yang dipakai tidak mengandung
krom atau logam lain, lumpur dapat ditebarkan diatas tanah. Jika lumpur
mengandung logam, maka ia harus disimpan ditempat yang aman, sampai ada suatu
tempat pengolahan limbah berbahaya yang dikembangkan di Indonesia, dan yang ada
pada saat ini adalah Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B-3) di
Cilengsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Menjual berbagai macam jenis Chemical untuk cooling tower chiller dan waste water treatment,STP dll untuk info lebih lanjut tentang produk ini bisa menghubungi saya di email tommy.transcal@gmail.com
ReplyDeleteHp:081310849918