Friday, 12 May 2017

Limbah Cair Pewarna Tekstil

Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai sampah), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia organik dan anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.

·      Limbah Cair
Limbah cair adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan. Sedangkan menurut Sugiharto (1987) air limbah (waste water) adalah kotoran dari masyarakat, rumah tangga dan juga yang berasal dari industri, air tanah, air permukaan, serta buangan lainnya.
Limbah cair merupakan masalah utama dalam pengendalian dampak lingkungan industri tekstil karena memberikan dampak yang paling luas, disebabkan oleh karakteristik fisik maupun karakteristik kimianya. Limbah cair terutama dihasilkan dari proses penyempumaan tekstil. Limbah cair akan mengandung bahan-bahan yang dilepas dari serat, sisa bahan kimia yang ditambahkan pada proses penyempurnaan tersebut, serta serat yang terlepas dengan cara kimia atau mekanik selama proses produksi berlangsung.

·      Limbah Cair Tekstil
Limbah tekstil merupakan limbah yang dihasilkan dalam proses pengkanjian, proses penghilangan kanji, pengelantangan, pemasakan, merserisasi, pewarnaan, pencetakan dan proses penyempurnaan. Proses penyempurnaan kapas menghasilkan limbah yang lebih banyak dan lebih kuat dari pada limbah dari proses penyempurnaan bahan sistesis. Gabungan air limbah pabrik tekstil di Indonesia rata-rata mengandung 750 mg/l padatan tersuspensi dan 500 mg/l BOD. Perbandingan COD : BOD adalah dalam kisaran 1,5 : 1 sampai 3 : 1. Pabrik serat alam menghasilkan beban yang lebih besar. Beban tiap ton produk lebih besar untuk operasi kecil dibandingkan dengan operasi modern yang besar, berkisar dari 25 kg BOD/ton produk sampai 100 kg BOD/ton. Informasi tentang banyaknya limbah produksi kecil batik tradisional belum ditemukan.
Larutan penghilang kanji biasanya langsung dibuang dan ini mengandung zat kimia pengkanji dan penghilang kanji pati, PVA, CMC, enzim, asam. Penghilangan kanji biasanya memberikan BOD paling banyak dibanding dengan proses-proses lain. Pemasakan dan merserisasi kapas serta pemucatan semua kain adalah sumber limbah cair yang penting, yang menghasilkan asam, basa, COD, BOD, padatan tersuspensi dan zat-zat kimia. Proses-proses ini menghasilkan limbah cair dengan volume besar, pH yang sangat bervariasi dan beban pencemaran yang tergantung pada proses dan zat kimia yang digunakan. Pewarnaan dan pembilasan menghasilkan air limbah yang berwarna dengan COD tinggi dan bahan-bahan lain dari zat warna yang dipakai, seperti fenol dan logam. Limbah cair dari industri tekstil selain sesuai uraian diatas, secara garis besar dapat diuraikan menjadi bagian – bagian seperti dibawah ini:
1.      Logam berat terutama As, Cd, Cr, Pb, Cu, Zn.
2.      Hidrokarbon terhalogenasi.
3.      Pigmen, zat warna dan pelarut organik.
4.      Tensioactive (surfactant).
Zat warna tekstil merupakan suatu senyawa organik yang akan memberikan nilai COD (Chemical Oxygen Demand) dan BOD (Biological Oxygen Demand). Penghilangan zat warna dari air limbah tekstil akan menurunkan COD dan BOD air limbah tersebut. Sebagai contoh dari hasil percobaan di laboratorium BBT (Balai Besar Tekstil) menunjukkan bahwa air dari limbah tekstil yang mengandung beberapa zat warna reaktif sebanyak 225 mg/l mempunyai COD sebesar 534 mg/l dan BOD 99 mg/l.

·      Zat Warna Tekstil
Pada tahun 1876 Witt menyatakan bahwa molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik yang tidak jenuh, kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom sebagai pengikat antara warna dengan serat. Zat organik tak jenuh umumnya berasal dari senyawa aromatik dan derivatifnya (benzene, toluene, xilena, naftalena, antrasena, dan sebagainya.), Fenol dan derivatifnya (fenol, orto/ meta/ para kresol, dan sebagainya.), senyawa mengandung nitrogen (piridina, kinolina, korbazolum, dan sebagainya). (Pratikto, 2003).
Kromofor merupakan zat pemberi warna yang berasal dari radikal kimia, seperti kelompok nitroso (-NO), nitro (-NO2), azo (-N=N), etilena (>C=C<), karbonil (>C=O), karbon nitrogen (>C=NH dan –CH=N-), belerang (>C=S dan ->C-S-S-C<). (Sastrawijaya, 1991).
Auksokrom merupakan gugus yang dapat meningkatkan daya kerja khromofor sehingga optimal dalam pengikatan. Auksokrom terdiri dari golongan kation yaitu –NH2, -NH Me, – N Me2 seperti –+NMe2Cl, golongan anion yaitu SO3H-, -OH, -COOH. Auksokrom juga merupakan radikal yang memudahkan terjadinya pelarutan: -COOH atau –SO3H, dapat juga berupa kelompok pembentuk garam: – NH2 atau –OH. (Sastrawijaya, 1991).
Zat warna dapat digolongkan menurut sumber diperolehnya yaitu zat warna alam dan zat warna sintetik. Van Croft menggolongkan zat warna berdasarkan pemakaiannya, misalnya zat warna yang langsung dapat mewarnai serat disebutnya sebagai zat warna substantif dan zat warna yang memerlukan zat-zat pembantu supaya dapat mewarnai serat disebut zat reaktif. Kemudian Henneck membagi zat warna menjadi dua bagian menurut warna yang ditimbulkannya, yakni zat warna monogenetik apabila memberikan hanya satu warna dan zat warna poligenatik apabila dapat memberikan beberapa warna. Penggolongan zat warna yang lebih umum dikenal adalah berdasarkan konstitusi (struktur molekul) dan berdasarkan aplikasi (cara pewarnaannya) pada bahan, misalnya didalam pencelupan dan pencapan bahan tekstil, kulit, kertas dan bahan-bahan lain. (Renita, dkk., 2004)
Penggolongan zat warna menurut “Colours Index” volume 3, yang terutama menggolongkan atas dasar sistem kromofor yang berbeda misalnya zat warna Azo, Antrakuinon, Ftalosia, Nitroso, Indigo, Benzodifuran, Okazin, Polimetil, Di- dan Tri-Aril karbonium, Polisiklik, Aromatik Karbonil, Quionftalen, Sulfer, Nitro, Nitrosol dan lain-lain. (Heaton, 1994)
Griffiths dan Daehne membagi pewarna berdasarkan tipe elektron – terangsang (exited) yang terjadi pada saat penyerapan cahaya. Luettke membaginya menjadi pewarna penyerap (absorption colorant), pewarna berfluorosensi (fluorescence colorant), dan pewarna pemindah daya (energy transfer colorant). (Pratikto, 2003)
Zat warna termasuk spektrum yang luas dengan struktur kimia yang berbeda terutama didasarkan pada gugus utama yaitu golongan aromatik dan heterosiklik seperti gugus amina aromatik (C6H5-NH2) yang dicurigai dapat menimbulkan penyakit  kanker, phenil  (C6H5-CH2) dan  naptil (NO2-OH). Hal yang paling umum adalah kemampuan zat kimia tersebut dalam penyerapan sinar cahaya tampak.

·      Studi Kasus Pewarna Tekstil
DAMPAK PENCEMARAN PEWARNA TEKSTIL JENIS AZO TERHADAP BIOTA AIR DAN MEKANISME KEJADIANNYA SERTA DAMPAK PADA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Limbah menjadi suatu permasalahan lingkungan yang semakin hari bertambah, baik dari segi volume maupun jenisnya seiring perkembangan teknologi dan zaman. Salah satu yang menjadi permasalahan lingkungan adalah adanya pencemaran oleh bahan pewarna dari sektor industri tekstil yang membuang limbah dalam volume besar ke dalam ekosistem perairan setelah dilakukannya proses pewarnaan. Pewarna yang lazim digunakan dalam industri tekstil, kulit, kosmetik, pewarna makanan, dan kertas adalah pewarna jenis azo (Zolinger et.al 1987 dalam m. sudha et.al. 2014).
Pewarna azo merupakan pewarna utama yang digunakan dalam industri tekstil dan tergolong limbah yang sulit terdegradasi, meski pewarna azo dapat bersifat nontoksik pada kadar rendah bagi tubuh manusia, namun pada kadar atau jenis azo tertentu dapat bersifat toksik dan karsinogenik (Dewi, S,R & Lestari, S.2010). Setidaknya, terdapat kurang lebih 3000 jenis pewarna azo yang digunakan dalam kegiatan industri, baik pada tekstil, kulit, kosmetik, makanan dan kertas. Dalam Chequer et.al (2011) pewarna azo adalah pewarna sintesis dari pasangan amine yang terdeazotisasi menjadi senyawa organik (amine atau fenol) yang memiliki satu atau lebih gugus azo -N=N- yang berikatan dengan gugus cincin aromatik, dan dapat terlarut dalam air.
Zat warna golongan azo merupakan golongan zat warna yang memiliki kromofor –N=N, yang merupakan senyawa kimia yang memberikan warna, bukan sebagai zat warna sehingga bahan yang terkena pewarna ini akan bersifat sementara. Oleh karena itu, pada industri tekstil, dalam pewarna azo juga terdapat aukrosom atau radikal yang mengikat kromofor sehingga warna akan terikat pada bahan. Ikatan antara kromofor dan aukrosom yang kuat menyebabkan zat warna azo tidak dapat hilang dari perairan (Dewi, S.R, & Lestari S. 2010.). pewarna azo digunakan hingga 80% dalam proses pewarnaan tekstil, dan diperkirakan oleh Baban (2013) dalam m. sudha. et.al (2014), bahwa 10-15% limbah pewarna azo masuk ke dalam sungai ketika proses pewarnaan berlangsung.
Limbah pewarna azo yang dibuang ke dalam sungai atau ekosistem perairan mampu mempengaruhi transparansi air, yang artinya mempengaruhi penetrasi sinar dari matahari terhadap sungai, serta bersifat toksik, dan mutagenik terhadap organisme atau biota air. Tulisan ini lebih lanjut akan membahas mengenai dampak pewarna azo terhadap biota air serta hubungannya terhadap pembangunan berkelanjutan.

Pewarna Azo  Terhadap Biota Air
Pewarna azo yang memiliki sifat mudah terlarut dalam air, ketika dibuang ke dalam ekosistem perairan akan tercampur dalam perairan, terakumulasi dan mampu memasuki tubuh biota air sehingga terjadi bioakumulasi. Secara fisik, pewarna azo yang masuk ke dalam sungai membuat air sungai menjadi berwarna dan menghalangi cahaya yang masuk ke dalam badan air, sehingga berpegaruh terhadap proses fotosintesis fitoplankton atau tumbuhan air yang kemudian akan mempengaruhi pula zooplankton dan organisme air lainnya. Secara kimia, mampu mengurangi kadar oksigen yang ada dalam perairan yang tercemar dan dapat mengakibatkan kematian terahadap biota air. Selain itu, pada dasar perairan, zat warna azo yang dirombak oleh mikroorganisme secara anaerobik dapat menghasilkan senyawa amina aromatik yang tingkat toksisitasnya kemungkinan menjadi lebih berbahaya dibandingkan dengan zat warna azo itu sendiri (Fitriana, A & Kuswytasari. 2013). Salah satu contoh senyawa yang terbentuk dalam proses anaerobik yaitu kloroanilin, yang dapat mengganggu kesehatan manusia karena diduga dapat berpengaruh terhadap organ pernapasan, urogenital, dan gangguan saraf (Suhendra, E.dkk. 2013)
Nirmalarani et.al (1988) dalam M.Sudha. et.al (2014) menyebutkan bahwa pewarna azo mampu mengurangi efisiensi germinasi benih dan pertumbuhan tumbuhan. Dalam konsentrasi yang lebih tinggi mampu menghambat pertumbuhan tunas dan akar. Dampak yang terjadi pada hewan, dalam Kucerova et.al., (1987); Collier at.al. (1993) dalam Chequer, D.M.F. et al (2014) menyebutkan bahwa pewarna azo mampu mempengaruhi kegagalan reproduksi dan dapat menyebabkan aberasi kromosom. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Al-Sabti (2000) dalam Chequer, D.M.F. et al (2014) yang hasilnya menunjukkan bahwa pewarna azo memiliki aktivitas klastogenik, sebuah potensi faktor resiko permasalahan penyakit dalam perkembangan gen, teratogenik atau karsinogenik terhadap populasi ikan.
Bae dan Freeman (2007) dalam Chequer, D.M.F. et al (2014) telah mendemonstrasikan toksisitas biologis pewarna azo terhadap Daphnia sp. Dengan menggunakan pewarna azo jenis Direct Blue 218, 48-h LC50 diantara 1 hingga 10 mg/l, terbukti sangat toksik terhadap Daphnia sp. Pewarna azo kebanyakan tidak mudah terdegradasi atau bahkan tidak terdegradasi dengan menggunakan treatmen konvensional. Ada pun efek mutagenik, karsinogenik dan toksik pewarna azo bisa terjadi karena efek langsung dari senyawa penyusun azo, atau karena proses biotransformasi reduktif ikatan azo yang membentuk adanya radikal bebas dan derivat aryl amine. Efek mutagenik pewarna azo dapat menyebabkan aberasi terhadap kromosom, aberasi kromosom merupakan indikator penting terhadap kerusakan DNA dan ketidakstabilan genom, dan secara umum aberasi kromosom adalah gabungan perubahan yang terjadi pada kriotipe normal secara keseluruhan (Alatas, Z.  2008)

Bagaimana Reaksi Pewarna Azo Dalam Tubuh Organisme
Pewarna Azo bekerja atau bereaksi layaknya Xenobiotik dan bersifat toksik, dan dapat terakumulasi melalui rantai makanan. Ketika, pewarna azo masuk ke dalam tubuh organisme melalui absorpsi, ia dapat bereaksi terhadap metabolisme tubuh suatu organisme atau bahkan zat tersebut bisa bereaksi sendiri tanpa ikut berekasi dalam metabolisme, karena adanya interaksi dengan fungsi umum sel. Interaksi zat kimia terhadap fungsi umum sel diantaranya dapat menyebabkan suatu efek narkose, dan gangguan terhadap penghataran impuls neurohumoral (Anonim. 2014).
Masuknya suatu zat ke dalam tubuh suatu organisme dapat menyebabkan sebuah proses biotransformasi, atau perubahan zat kimia dalam sistem biologis pada fungsi fisiologi tubuh organisme. Proses biotransformasi organisme ketika pewarna azo masuk ke dalam tubuhnya bisa jadi mengurangi tingkat berbahaya zat kimia tersebut, atau bahkan mungkin juga membuat xenobiotik bioaktif, dan menjadikannya lebih berbahaya dalam tubuh suatu organisme. Proses utama biotransformasi yang terjadi ketika pewarna azo masuk, diantaranya oksidasi, reduksi, hidrolisis dan konjugasi, yang terkatalisasi oleh enzim, dan dipengaruhi oleh bangun molekul serta kepekatan pencemar, sifat alamiah mikroorganisme, keadaan lingkungan, dan suhu (Connell, 2006, dalam Suhendra, E. dkk. 2013).

Penggunaan Perwarna Azo Terhadap Pembangunan Berkelanjutan
Tidak dipungkiri bahwa pewarna jenis Azo lazim dan banyak digunakan di beberapa produk yang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan pewarna azo menjadi salah satu bagian dari faktor ekonomi untuk meningkatkan kualitas suatu produk dalam hal penampilan produk. Oleh karenanya pewarna azo umumnya tidak lepas dari kegatan produksi terutama di bidang tekstil dan produk yang menggunakan pewarna. Selama pengolahan, penggunaan, dan pemanfaatan pewarna azo dilakukan secara bijak dan tidak menyebabkan suatu dampak yang buruk, maka tidak menjadi sebuah masalah bagi masyarakat.
Adalah suatu tujuan dalam pembangunan nasional untuk mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi. Tetapi apalah artinya kesejahteraan tanpa lingkungan yang sehat demi mendukung kesehatan dan kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, pembangunan yang berwawasan lingkungan menjadi penting bagi fondasi pembangunan.
Pewarna azo sebagaimana telah dikemukakan di atas, jelas menimbulkan suatu permasalahan bagi lingkungan terutama air, ketika tidak dikelola secara bijak. Air merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi kehidupan seluruh makhluk hidup, dan oleh karena itu kualitas air perlu dijaga. Dalam M.Sudha. et.al (2014) dikemukakan berbagai mekanisme dan metode untuk menghilangkannya seperti dengan cara pekoagulasi, koagulasi-elektrooksidasi, adsorpsi, elektrolisis, fotolisis, dan ozonisasi. Secara biologi, pewarna azo dapat didegradasi dengan menggunakan agen hayati seperti mikroorganisme (M.Sudha. et.al. 2014), jamur (Dewi, S.R, & Lestari S. 2010), kapang (Fitriana, A & Kuswytasari. 2013). Namun cara-cara tersebut secara ekonomi dapat membebani suatu proses produksi dan oleh karena biayanya dapat dikatakan tidak sedikit serta waktu yang tidak sebentar. Hal ini bergantung kepada pelaku industri untuk dapat mengorbankan biaya demi terjaganya lingkungan dari limbah yang ia hasilkan.
Pengelolaan limbah terhadap kualitas air di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 dan mengacu pada Undang-undang no 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun dalam implementasinya, regulasi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Diperlukan suatu tindakan tegas terhadap penerapan PP No.82 tahun 2001, karena air bersih merupakan hak bagi setiap warga negara Indonesia, dan merupakan unsur paling penting dalam kehidupan makhluk hidup. Sehingga, dalam hal ini, tidak bisa tawar-menawar untuk pengelolaan kualitas air agar air tetap terjaga dengan baik.
Penggunaan zat kimia perlu disikapi secara bijak, karena tidak hanya dapat mencemari lingkungan, namun juga dapat menjadi bencana ekologis bagi manusia. Pewarna digunakan untuk kebutuhan produksi dan tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari, namun di sisi lain ia juga menimbulkan suatu permasalahan yang harus ditanggulangi. Tersedianya suatu regulasi tidak efektif jika tanpa implementasi dalam realita kehidupan, maka sebelum terjadinya suatu masalah perlu adanya pencegahan terhadap apa yang tidak kita harapkan tersebut. Dalam hal ini, pencerdasan terhadap pelaku produksi atau pengguna zat pewarna juga harus diperhatikan. Kemudian pendampingan dan pengawasan juga dianggap penting dalam pelaksanaan suatu proses produksi, sehingga apa yang diharapkan dari sebuah regulasi demi kepentingan bersama yakni sebuah pembangunan berkelanjutan dapat terwujud.

·      Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Tekstil
Pengolahan limbah cair dilakukan apabila limbah pabrik mengandung zat warna, maka aliran limbah dari proses pencelupan harus dipisahkan dan diolah tersendiri. Limbah operasi pencelupan dapat diolah dengan efektif untuk menghilangkan logam dan warna, jika menggunakan flokulasi kimia, koagulasi dan penjernihan (dengan tawas, garam feri atau poli-elektrolit). Limbah dari pengolahan kimia dapat dicampur dengan semua aliran limbah yang lain untuk dilanjutkan ke pengolahan biologi.
Jika pabrik menggunakan pewarnaan secara terbatas dan menggunakan pewarna tanpa krom atau logam lain, maka gabungan limbah sering diolah dengan pengolahan biologi saja, sesudah penetralan dan ekualisasi. Cara-cara biologi yang telah terbukti efektif ialah laguna aerob, parit oksidasi dan lumpur aktif. Sistem dengan laju alir rendah dan penggunaan energi yang rendah lebih disukai karena biaya operasi dan pemeliharaan lebih rendah. Kolom percik adalah cara yang murah akan tetapi efisiensi untuk menghilangkan BOD dan COD sangat rendah, diperlukan lagi pengolahan kimia atau pengolahan fisik untuk memperbaiki daya kerjanya.
Untuk memperoleh BOD, COD, padatan tersuspensi, warna dan parameter lain dengan kadar yang sangat rendah, telah digunakan pengolahan yang lebih unggul yaitu dengan menggunakan karbon aktif, saringan pasir, penukar ion dan penjernihan kimia.

PEMANFAATAN LIMBAH
Industri tekstil tidak banyak menghasilkan banyak limbah padat. Lumpur yang dihasilkan pengolahan limbah secara kimia adalah sumber utama limbah pada pabrik tekstil. Limbah lain yang mungkin perlu ditangani adalah sisa kain, sisa minyak dan lateks. Alternatif pemanfaatan sisa kain adalah dapat digunakan sebagai bahan tas kain yang terdiri dari potongan kain-kain yang tidak terpakai, dapat juga digunakan sebagai isi bantal dan boneka sebagai pengganti dakron.
Lumpur dari pengolahan fisik atau kimia harus dihilangkan airnya dengan saringan plat atau saringan sabuk (belt filter). Jika pewarna yang dipakai tidak mengandung krom atau logam lain, lumpur dapat ditebarkan diatas tanah. Jika lumpur mengandung logam, maka ia harus disimpan ditempat yang aman, sampai ada suatu tempat pengolahan limbah berbahaya yang dikembangkan di Indonesia, dan yang ada pada saat ini adalah Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B-3) di Cilengsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.


DAFTAR PUSTAKA




1 comment:

  1. Menjual berbagai macam jenis Chemical untuk cooling tower chiller dan waste water treatment,STP dll untuk info lebih lanjut tentang produk ini bisa menghubungi saya di email tommy.transcal@gmail.com
    Hp:081310849918

    ReplyDelete